PRAJURIT KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT DAN MARCHING BAND TRADISIONAL JAWA
Harmoni Musikalitas di Bawah Atap Payung Kebesaran Tradisi
Hingar dan semaraknya upacara tradisional Grebeg Maulud Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang digelar bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Senin (9/3/2009) berlangsung meriah.
Alkisah, jalannya prosesi upacara tradisional Grebeg Maulud berupa iring-iringan ritmik Gunungan Lanang, Wadon, Dharat, Pawuhan dan Gepak, yang dikeluarkan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat melalui Siti Hinggil, Pagelaran, Alun-Alun Utara hingga berakhir di halaman Masjid Gede Kauman Yogyakarta. Gunungan yang dibuat dari bahan makanan seperti sayur-sayuran, kacang, cabai merah, ubi dan beberapa pelengkap yang terbuat dari ketan dan dibentuk menyerupai gunung tersebut, melambangkan kemakmuran dan kekayaan tanah Keraton Mataram. Selanjutnya, Iringan “Gunungan” tdikawal sembilan pasukan prajurit keraton, di antaranya prajurit Wirobrojo, Ketanggung, Bugis, Daeng, Patangpuluh, Nyutro. Mereka mengenakan seragam dan atribut aneka warna dan membawa senjata tombak, keris serta senapan kuno1.
Tak ketinggalan pula korps pasukan kehormatan tersebut biasanya juga membawa seperangkat alat musik tetabuhan, berupa tambur (marching band tradisional) yang telah dihias atau dipercantik sedemikian rupa sebagai pembangkit semangat juang dan berperang (waktu itu)2. Peristiwa budaya klasikal ini merupakan salah satu andalan di antara sekian prosesi acara sekatenan, sebuah ritual budaya tahunan yang digelar secara berkesinambungan oleh keraton yang sama.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang lahir pada tahun 1756 Masehi atau tahun 1682 menurut penanggalan Jawa seperti ditetapkan dalam perjanjian palihan nagari (pembagian Negara)3, merupakan sebuah institusi atau lembaga budaya. Keraton adalah pusat dari penyebaran budaya berkategori istana centris kepada masyarakat awam. Keraton pulalah yang kemudian merasa terpanggil oleh sejarah untuk melakukan institusionalisasi nilai-nilai dan norma-norma moralitas budaya dan tradisi, termasuk di dalamnya adalah edukasi atas tatanan nilai tersebut, kepada masyarakat pendukungnya secara terarah, terukur serta berkesinambungan4.
Sebagai sebuah institusi budaya, keratonlah yang mula pertama melahirkan corak-tipikal budaya dan tradisinya sendiri yang sekaligus berperan sebagai penjaganya5.
Williams, dalam bukunya, “Culture” (1981)6, memahami keraton sebagai salah satu dari kajian budaya, dikatakan selanjutnya oleh Williams, “… bahwa di dalam kajian budaya, akan ditemukan berkelindannya tiga elemen pokok, yakni lembaga-lembaga budaya, isi budaya dan efek budaya. Dalam lembaga budaya diperhatikan mengenai siapa yang menghasilkan budaya, siapa yang melakukan control (controlling) serta bagaimana kontrol tersebut dilakukan; isi budaya mempermasalahkan apa saja yang dihasilkan maupun simbol-simbol apa yang diusahakan dan; efek budaya mempertanyakan konsekuensi-konsekuensi apa yang diharapkan dari adanya proses budaya tersebut …”.
Secara historis, memang telah terbukti bahwa keratonlah yang memobilisir percepatan transmisi muatan serta kandungan nilai tradisi dan budaya Jawa. Bahkan menjadi tokoh sentral yang sekaligus melakukan fungsi kontrol atas keberlangsungan tumbuh-kembangnya budaya Jawa tersebut. Sebagai lembaga yang melahirkan moralitas budayanya tersendiri, keraton mengharapkan agar masyarakat secara bersama-sama tumbuh berkembang dalam bingkai pembelajaran moralitas sistem birokrasi pemerintahan dan budaya7 yang ditradisikannya sedemikian rupa, hingga tradisi dan budaya Jawa dalam artian luas versi keraton mampu untuk bertahan hidup dalam tantangan dan modernitas jaman8. Demikian pula, termasuk di dalamnya adalah dipertahankannya korps musik prajurit kebanggaan keraton hingga kini9.
Upaya mulia ini bukannya tanpa sebab, dari perspektif sejarah, keberadaan korps musik prajurit keraton yang merupakan cikal-bakal kesatuan unit marching band modern ini memiliki arti tersendiri bagi satuan kehormatan korps militer seluruh prajurit keraton. Divisi korps musik ini adalah bagian integral dari seluruh kesatuan unit militer kerajaan. Sebagaimana ditulis oleh Budi Raharjo10 bahwa, fungsi utama satuan ini adalah memberikan dukungan semangat moril dan keyakinan luar biasa kepada para prajurit yang hendak maju ke medan laga saat itu, menyuntikkan semangat patriotisme dengan menggelorakan lagu-lagu hymne perjuangan kerajaan Mataram Islam11.
Kesatuan atau divisi musik prajurit kerajaan Mataram ini seolah menjadi semacam maskot pembangkit semangat perjuangan dan pengabdian serta kesetiaan mutlak luar biasa kepada Negara, yakni nagari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun demikian, sekarang ini keberadaan mereka bisa dikatakan tak lebih sebagai simbol belaka, pelengkap ritus klasikal adat-istiadat keraton yang akan dan tengah berlangsung. Namun, meski kini prajurit keraton seolah hanya berfungsi ‘dekoratif’, bukan berarti pula mesti kehilangan jiwa dan semangat pengabdiannya. Mengabdi bagi kepentingan dan ketentraman keraton yang berarti juga terciptanya kedamaian bagi masyarakat Jogjakarta secara luas12.
Akhirnya, hikmah kecil dibalik realitas ini semua, terutama bagi para marcher serta pecinta marching band yang masih tetap peduli dan cinta terhadap tradisi dan budaya bangsanya, semestinya terselip sebuah kebanggaan tersendiri bahwa, ternyata jenis musik seperti marching band diakui serta diterima secara terhormat oleh sebuah institusi budaya yang menjadi mercusuarnya budaya jawa, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat13.
Seperti telah disinggung oleh Williams di muka sebelumnya bahwa, lembaga budaya memiliki hak mutlak untuk memakai simbol-simbol tertentu dalam menegaskan arti, maksud dan tujuan dari dilahirkannya seperangkat simbol dimaksud. Demikian pula halnya keraton, prajurit keraton yang dahulu benar-benar berfungsi sebagai militer, penjaga keamanan dan keselamatan nagari. Seiring perputaran jaman, kini lebih berperan sebagai ‘pelengkap’ ritus adat tradisi peristiwa budaya yang terjadi di dalam keraton itu sendiri. Ketersambungan sejarah dan tradisi inilah yang kini dipelihara oleh keraton, salah satu strateginya adalah dengan mempertahankan keberadaan artifisial prajurit keraton, khususnya prajurit pada divisi korps musiknya yang menjadikan marching band sebagai salah satu instrumen musikalitas penting dalam membawakan pesan-pesan moralitas budaya dan kearifan tradisi leluhur dalam balutan ritme nada harmoni di bawah payung kebesaran tradisi14.(By/aDJ)
By/aDJ (Bayu Adji Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Jogjakarta )
1 www.yogyakartaonline.com, “Upacara Grebeg Maulud Meriah”, Edisi 09 Maret 2009. Kajian lebih mendalam mengenai seputar prosesi grebeg maulud juga bisa dilihat dalam tulisan Soelarto, B., “Grebeg di Kesultanan Yogyakarta”, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1993.
2 Wibatsu, “Prajurit Keraton Yogyakarta”, Yogyakarta, Mandara Giri Mataram, 2000.
3 Pemaparan lebih mendalam untuk kajian historisitas dimaksud, salah satunya bisa dilihat pada tulisan A. Daliman, Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UNY, “Makna Simbolik Nilai-Nilai Kultural Edukatif Bangunan Kraton Yogyakarta : Suatu Analisis Numerologis dan Etimologis” dalam Jurnal Humaniora, Vol. XIII, No. 1/2001 (jurnal- humaniora.ugm.ac.id/download/060920061115-2-Daliman.pdf).
4 Buminoto, “Adeging Nagari Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat, tanpa penerbit, 1994.
5 Kamajaya, “Ajaran Jawa tentang Kepemimpinan Masyarakat dan Negara”, Yogyakarta, Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan, Lembaga Javanologi, 1985.
6 Raymond Williams, “Culture”, Glasgow, Montana Paperbacks, 1981. Raymond Williams lahir di daerah perbatasan Inggris-Wales pada 1921 dan meninggal pada tahun 1988. Dalam sejarah kajian budaya, Williams dikenal sebagai seorang pemikir yang kukuh pendirian, ia memulai karirnya dari tradisi menulis dan membaca sastra yang pada suatu hari kemudian coba dipadukannya dengan marxisme sedemikian rupa untuk diaplikasikan secara lebih massif dalam segmen sosial maupun kebudayaan. Dalam salah satu orasi ilmiahnya, Williams menganjurkan kembali bahwa, kebudayaan haruslah dimengerti dalam beberpa term. Pertama, institusi-institusi yang memproduksi kesenian dan kebudayaan; kedua, formasi-formasi pendidikan, gerakan dan faksi-faksi dalam produksi kebudayaan; ketiga, bentuk-bentuk produksi termasuk segala manifestasinya; keempat, identifikasi dan bentuk-bentuk kebudayaan termasuk di dalamnya kekhususan produk-produk kebudayaan serta tujuan estetisnya; kelima, reproduksinya dalam perjalanan ruang dan waktu serta keenam; cara pengorganisasiannya.
7 Moedjanto, “Konsep Kekuasaan Jawa”, Yogyakarta, Kanisius, 1987.
8 Fachry Ali, “Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern”, Jakarta, Grafiti Press, 1986.
9 Pasca tahun 1830, Setelah berakhirnya Perang Diponegoro, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda semakin mengurangi dan membatasi kekuatan militer Keraton. Meski memiliki hampir 1000 personel dengan berbagai jenis senjata, termasuk senjata api, namun keberadaannya sungguh tidak lebih hanya sebagai atribut pelengkap dalam kehidupan tradisi dan adat isitadat Keraton. Hingga pada tahun 1942, keberadaan kesatuan bersenjata yang berusia hampir 2 abad itu, mencapai akhir riwayatnya. Saat itu, pada masa-masa awal pendudukan balatentara Jepang, Sultan Hamengku Buwono IX membubarkan semua kesatuan bersenjata di Keraton Yogyakarta, untuk menghindari keterlibatan para prajuritnya dalam Perang Asia Timur Raya. Baru pada awal tahun 70-an, Sultan Hamengku Buwono IX menghidupkan kembali keberadaan pasukan tradisional ini untuk melengkapi berbagai upacara adat dan atraksi pariwisata di Keraton Yogyakarta, khususnya dalam upacara Garebeg yang diadakan 3 kali setiap tahunnya.
10 Budi Raharjo, “Struktur dan Fungsi Musik Prajurit Keraton Yogyakarta”, Tesis Pasca Sarjana UGM Jogjakarta, 1999., dalam Umi Yuliati, “Militer Kraton Yogyakarta”, Peran Prajurit dalam Kehidupan Politik Tahun 1792 – 1812, h. 6 – 9, tanpa penerbit, tanpa tahun.
11 Kajian mendalam perihal korps musik marching band tradisional prajurit keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, bisa ditemukan dalam tulisan Umi Yuliati, “Militer Kraton Yogyakarta”, Peran Prajurit dalam Kehidupan Politik Tahun 1792 – 1812, h. 6 – 9, tanpa penerbit, tanpa tahun.
12 Pesan dan kesan maknawi keberadaan prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat bisa dikaji lebih mendalam lagi pada tulisan KPH Brotodiningrat, “Arti Keraton Yogyakarta”, Yogyakarta, Museum Keraton Yogyakarta, 1978.
13 Untuk kajian lebih transparan mengenai hal dimaksud, kembali kami sarankan untuk melihat tulisan Budi Raharjo, “Struktur dan Fungsi Musik Prajurit Keraton Yogyakarta”, Tesis Pasca Sarjana UGM Jogjakarta, 1999., dalam Umi Yuliati, Militer Kraton Yogyakarta, Peran Prajurit Dalam Kehidupan Politik Tahun 1792 – 1812.
14 Dipersilahkan mengkaji lebih lanjut pemikiran tersebut di atas pada tulisan I. Wibowo Wibisono, “Simbol Menurut Susanne K. Langer”, dalam dari Sudut-sudut Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1977., dalam Makna Simbolik Nilai-Nilai Kultural Edukatif Bangunan Kraton Yogyakarta: Suatu Analisis Numerologis dan Etimologis, Jurnal Humaniora XIII, N0. 1/2001
Related posts:
Short URL: https://trendmarching.or.id/read/?p=1126