MARCHING BAND DAN ‘SIHIR’ POP CULTURE
Risalah Singkat ‘Euforia’ Pencarian Jati Diri Komunitas Marcher di tengah Dialektika Budaya Populer
Pengantar
Kalau kita coba bereksperimentasi dengan memakai kerangka pemahaman Raymond Williams (1981) secara taken for granted atas budaya yang diilustrasikannya sebagai “…a particular way of life, whether a people, a group, or a period…”1, maka kegairahan dan semangat anak-anak sekolah atau siapapun juga anggota masyarakat untuk berperan aktif, dalam artian luas pada seni bermusik ala marching band, seharusnya sahih masuk ke dalam ranah persepsi Williams tadi. Marching band adalah bagian dari seni bermusik, ia merupakan hasil cipta kreasi budaya manusia itu sendiri. Terlepas dari ruang dan waktu, maupun sifat dan karakter, musik itu relatif universal2.
Universalitas musik dalam pengertian luas memang bisa diterima oleh semua ras manusia di semua bangsa dan lintas benua, karena ia telah menjadi ‘bahasa’ dan ‘etika’ tersendiri yang menghantarkan manusia pada puncak peradabannya, titik kulminasi kebudayaannya3.
Namun ketika kita coba renungkan lebih jauh tentang hakekat tujuan berkesenian ala marching band, pembentukan karakter dan kecerdasan emosional dalam bermusik serta penanaman jiwa patriotiknya, maka klasifikasi yang meyakinkan kayaknya jatuh pada segmen budaya tinggi4. Ada senyawa tersembunyi yang dilahirkan oleh praktek bermusik jenis ini, terjadi perpaduan antara pendidikan atau pembangunan watak dengan warna drama artistikal dalam bermusik. Artinya, perpaduan antara sisi estetika sebuah performa musikalitas dengan pendidikan moral dan moralitas dalam bermusik sangatlah terasa, dan hal semacam ini memerlukan suatu strategi pemikiran yang tentu terjadi bukan hanya asal-asalan atau asal jadi saja, jauh dari perilaku serba instan.
Perilaku serba instan atau instanisasi perilaku masyarakat, dalam persepsi Hikmat Budiman (2001)5, terjadi sebagai akibat daya pikat-daya tarik luar biasa atas kemajuan teknologi yang ditingkahi modernitas jaman, tapi moral attitude kita belum sesigap dan sesiap yang dibutuhkan.
Sedang ranah culture menurut Mc. Iver6, merupakan ekspresi jiwa yang terpatri dalam cara-cara hidup dan sistem berpikir, pergaulan hidup, seni kesusastraan, agama, rekreasi dan hiburan yang memenuhi semua kebutuhan hidup manusia. Dengan tidak bermaksud untuk memicu polemik berkepanjangan, kegiatan marching band menjadi wajar ketika secara otomatis masuk ke dalam kategori besutan Mc. Iver ini. Jenis musik ini mampu mengkomunikasikan secara lugas pesan-pesan tertentu dalam balutan ritmik nan menawan.
Risalah Ringkas Kegiatan Marching Band : Menjaga Mood dan Eksistensi
Dalam konteks pendidikan dan pertumbuhan emosional siswa, pembinaan watak dan kepribadian melalui pelatihan marching band ini sangat direkomendasikan. Pasalnya, musikalitas marching band identik dengan kerjasama dan keutuhan team, tidak bisa saling menonjolkan kemampuan atau kepiawaian masing-masing. Ego masing-masing pemain mesti dikontrol sedemikian rupa agar keselarasan team work terlihat utuh dan harmonis. Kenyataan ini yang diharapkan mampu untuk melatih kesabaran dan kebersamaan para siswa.
Belajar marching band pun jangan dianggap remeh begitu saja, ia mesti dihayati dengan sepenuh hati dan perasaan plus logika, tak ketinggalan pula stamina tubuh mesti prima. Menurut Prof. Deviana (2002), wilayah ini cukup sulit ketimbang belajar ilmu-ilmu eksakta yang hanya mengandalkan logika semata7.
Tak jauh berbeda dari pendapat Prof. Deviana, seorang pelatih senior marching band, Kirnadi8, mengatakan bahwa marching band disamping sebagai kegiatan ekstra kurikuler adalah juga dapat berguna untuk melatih otak belahan kanan. Diliat dari kegiatannya yang terbagi dua bagian tak terpisahkan, yakni musikal dan visual, maka marching band terasa lebih kompleks jika dibandingkan dengan kegiatan lain. Setiap kegiatan belajar-mengajar idealnya diuraikan tentang tujuan instruksional umum dan khusus. Seperti diketahui, bahwa tujuan utama pembinaan marching band adalah membina kewiraan. Disamping itu marching band melalui musik bertujuan membina watak.
Sebuah kalimat yang terkenal ‘music speak better than word‘ memang telah teruji pada riset-riset yang dilakukan oleh para pakar dunia pendidikan. Melalui penghayatan nilai-nilai musikal dalam kegiatan pokok marching band, para anggota akan menjadi lebih berbudaya tinggi dan akan lebih cerdas. Kegiatan marching band adalah kegiatan bermain prososial atau team. Dari kelompok kecil (sectional) hingga kelompok besarnya (corps), mereka dituntut untuk melakukan praktik team building serta melakukan aktivitas komunikasi verbal. Baik internal antar anggota, maupun unsur luar (eksternal). Dari sana akan meningkatkan kemampuan human skill. Dalam kegiatan harian (apel, piket dll) serta pengorganisasiannya yang menggunakan istilah militer (komandan, kepala staf dll), bertujuan untuk membina mental militer atau military style. Pembelajaran kedisiplinan metode seperti itulah yang disebut sebagai salah satu strategi dalam membina mental siswa, yakni pembinaan kewiraan dan semangat patriotisme siswa.
Semangat musikalitas dan visualitas marching band adalah sebuah pembelajaran yang monumental dan patut dihargai setinggi-tingginya oleh seluruh lapisan masyarakat, karena telah menjadi salah satu media konstelatif untuk membenamkan jiwa patriotik dan mental pejuang kepada para siswa di tengah carut-marut gaya hidup hedonistik saat ini. Maka, kiranya telah patut untuk kita renungkan bersama dari lubuk terdalam sanubari kita, sebegitu manfaatkah kegiatan marching band terhadap perkembangan psikologis siswa? Yang notabene merupakan generasi penerus harapan kita juga9. Apalagi jika dibandingkan dengan remaja-remaja yang gemar pada gebyar musik hiburan malam ala “dugem” tanpa jelas tujuannya. Marching band adalah produk high culture, berdugem-ria jelas produk pop culture. Strinati (2004) mengatakan bahwa sebagian besar pengamat budaya pun kerap menilai bahwa high culture senantiasa ‘dilawankan’ dengan pop culture10. Mengapa demikian?
Sebagai produk dari high culture11, marching band adalah sebuah seni dengan derajat cipta-kreasi yang di dalamnya adalah berupa artistikal musik, koreografi gerak dan visualisasi performa yang dirancang sedemikian rupa dengan membutuhkan tingkat olah rasa dan olah penalaran yang cukup matang-mendalam. Hingga ketika disuguhkan, terkesan padu-padan dari ketiga unsur mendasar tersebut begitu ‘hidup’ dan bersenyawa satu sama lain. Tingkat olah rasa dan nalar inilah yang sahih menjadi acuan bagi klasifikasi high culture12. Tak heran jika banyak pengamat musik yang meyakini bahwa kegiatan marching band mampu meningkatkan kecerdasan nalar dan emosional seseorang secara simultan13. Hingga suatu ketika, masyarakat luas khususnya para orang tua siswa akan kian apresiatif terhadap eksistensi dan kontribusi kegiatan marching band terhadap peningkatan kualitas mental putra-putrinya yang aktif dalam ekstra kurikuler ini14.
Secara eksplisit, marching band bisa dikategorikan ke dalam beberapa tipe. Misalkan parade band yang melakukan gerakan baris-berbaris dan memakai alat musik bak pive, fifes, drum, woodwin, dan perkusi biasa disebut scrip marching. Lalu ada show band yang sering tampil dalam lapangan olah raga saat diadakannya kompetisi olah raga, biasa disebut field marching. Sementara itu, show band lebih aksentuatif serta mayoritas memakai alat tiup brass bukan sejenis woodwin.
Negara paman sam adalah negara yang memiliki marching band berkualitas. Di Amerika selain marching band milik kepolisian atau tentara, modern marching band umumnya dihubungkan dengan pertandingan olah raga semacam foot ball. Waktu unjuk kebolehan marching band biasanya ditampilkan pada sebelum, ditengah-tengah atau setelah pertandingan berlangsung.
Orang-orang yang tergabung dalam marching band terdiri dari tiga seksi yaitu; pertama alat tiup (brass) perkusi (alat pukul), dan ketiga adalah colour guard (pemain bendera). Diseksi alat tiup ada trompet, mellophone, trombhone, baritone, tuba dan lain-lain. Di alat perkusi ada drum dan alat lain sejenisnya. Sedangkan bagi pemain bendera, aktivitas mereka lebih ditekankan pada banyak melakukan tari-tarian.
Mungkin kita pernah mengenal schramble band, yang merupakan salah satu bentuk derivate dan varian dari marching band. Bedanya dengan marching band, jenis ini tidak melakukan baris-berbaris pada waktu bersamaan dengan musik. Schramble band banyak memasukan unsur komedi dalam melakukan pertunjukkannya, karena tujuan mereka tampil memang khusus untuk menghibur. Telah menjadi kewajiban tatkala berperforma, mereka banyak melakukan koreografi atau gerakan-gerakan lucu.
Quality of performance sangat penting dalam kompetisi marching band. Unsur-unsur yang dinilai antara lain, pertama; musik, aransemen, harmoni, dinamika dari setiap seksion, kedua; kostum pemain dan colour guard, ketiga; show concept, disain dan properties, keempat; koreografi, kelima; kualitas musik yang dimainkan itu sendiri, baik dari tatanan orkestrasinya maupun jenis lagu yang dipilih. Karena, tema dan jenis lagu yang dipilih akan menentukan kualitas warna keseluruhan orkestrasi musikalitas marching band, termasuk di dalamnya adalah mood para pemainnya secara simultan15.
Menjaga mood sebagai team tidaklah mudah. Dalam konteks ini, ada baiknya bila kita mempertimbangkan curah gagas Marko S Hermawan16 tentang kiat bagaimana menjaga mood team dari sisi ‘ruh’ musikalitasnya. Dalam pandangan Marko, ilmu menciptakan suatu pagelaran marching band sudah dibukukan dalam berbagai buku pendidikan musik dan marching band. Ada banyak cara dan pedoman dalam merangkai suatu tema pagelaran marching band. Dalam buku karya Wayne Bailey berjudul “The Complete Marching Band Resource Manual”, dijelaskan banyak mengenai persiapan sebuah marching band menghadapi sebuah penampilan dan pertandingan. Salah satu faktor terpenting adalah menyeleksi musik yang akan dimainkan. Tidak semua musik dapat cocok dimainkan oleh marching band. Sebaiknya ambil lagu yang mempunyai form ABA atau AB. Biasanya dalam puisi atau sajak banyak memakai istilah ini. Hal ini sama juga dengan sebuah lagu, dimana A dapat diartikan Verse 1 dan B diartikan Reffrain (Reff). Apabila lagu tersebut mengikuti standar format ini, maka dengan mudah dapat direproduksi ke lagu marching band. Format AB dapat dengan mudah ditranskripkan ke marching band, dimana polanya dapat berubah menjadi format klimaks di aransemen marching band. Format tersebut bisa berbeda dengan lagu aslinya, sepanjang benang merah lagu tersebut masih ada.
Tidak hanya mandeg pada tahap benang merah sebuah lagu saja, proses pemilihan lagu pun mesti diperhatikan. Lebih jauh Marko menambahkan, faktor lain dalam memilih lagu adalah cari di melodi lagu tersebut yang kira-kira dapat menjadi sebuah frase yang klimaks, baik bernuansa kuat dan keras, atau bahkan lembut sekali. Sehingga penggubah lagu dengan mudah mentranformasikan lagu tersebut ke dalam bentuk aransemen marching band. Sang pembuat display pun akan begitu mudah memvisualisasikan gerakan dan konfigurasi display sesuai dengan lagu tersebut. Semua melodi lagu harus mempunyai efek dan emosi secara klimaks (Bailey, 1994; dalam Marko, 2009).
Namun, kebanyakan di lagu-lagu pop sekarang ini, jarang sekali dijumpai melodi yang demikian. Sehingga menuntut sang arranger untuk berpikir lebih keras lagi bagaimana mengangkat harmoni musikalitas lagu tersebut. Setelah mendapatkan gambaran tentang lagu-lagu yang akan dimainkan, tugas arranger selanjutnya adalah bagaimana merangkai semua lagu tersebut ke dalam tema penampilan. Menurutnya, disinilah letak kreatifitas dan keahlian seorang arranger. Apakah semua lagu tersebut mempunyai benang merah yang sama, sehingga dapat dihubungkan satu sama lain? Apakah lagu-lagu tersebut berkonotasi keras semua, atau lembut semua? Dan apakah melodi-melodi dalam lagu tersebut dapat ditukar-tukar ke setiap lagu, atau dijadikan sebuah Introduction dan Ending sebuah pagelaran? Semua ini membutuhkan pemikiran serius, tegas Marko17.
Selanjutnya, Marko18 juga mengingatkan bahwa dengan mengikuti acuan Wayne Bailey, ia membuat suatu grafik pagelaran berisi garis linear pembentuk karakter dan emosi lagu untuk satu paket. Dari keempat lagu yang akan dimainkan, semuanya harus mempunyai karakter dan emosi yang kontras satu sama lain, agar grafiknya tidak lurus horisontal. Saat itu, ia mulai dengan lagu “Sing-sing So ala bolero” yang bernuansa hening dan pelan, hanya suara snare drum. Berpedoman pada benang merah bolero yang berangsur-angsur keras sampai klimaks dan megah, maka lagu daerah batak ini dibuatnya sama. Maka jadilah sebuah lagu daerah yang khas namun menggugah. Dr. Steven Grimo menjelaskan, bahwa lagu pertama sebuah pertunjukan harus mendapat kesan “Welcome to our performance!” (Whaley, 2005; dalam Marko, 2009).
Berkesan dan berkarakter khas merupakan pesan yang harus disampaikan di lagu pertama. Tantangan berikutnya adalah bagaimana dengan lagu selanjutnya? Mau diapakan benang merahnya? Mudah saja, setelah lagu satu diakhiri dengan klimaks yang keras, maka lagu kedua dapat kita santaikan lagi, mengingat juga tenaga para pemain sudah terforsir habis saat ending lagu satu. Maka kita sebagai arranger, ‘menyiapkan’ lagi tenaga mereka di lagu selanjutnya dengan memulainya dengan antiklimaks. Lagu Gundul-gundul pacul dipilih, bernuansa jazz swing yang ringan, namun terasa enak di telinga. Penonton pun dibuat menikmati lagu ini agar dapat mengikuti tema yang kita buat, ditambah percussion feature penambah greget lagu tersebut, imbuhnya lagi.
Kiat seterusnya adalah, Marko19 memasukkan interlude ilir-ilir, dimana hanya pit percussion yang bermain, sembari pemain brass dan battery beristirahat dan menyiapkan tenaga untuk menghentak pada lagu ke- 4. Puas dengan irama yang tenang, kemudian dipacu lagi dengan penampilan yang lebih kencang, keras dan dinamis. Kompilasi lagu jawa barat dipilih antara lain ‘es lilin dan pileuleuyan’. Nada-nada berkonotasi minor membuat Marko bereksperimentasi menggabungkan dengan lagu klasik agar lebih tegas dan kaku. Lagu pileuleuyan melanjutkan irama lagu ini dengan ‘menabrak’ tempo cepat 150 dengan irama syahdu tempo 85 (terinspirasi dari lagu 3 Blue Devils tahun 1998).
Lagu kelima, sebagai lagu pamungkas harus dibuat berbeda yang merupakan kompilasi dan klimaks dari pertunjukan ini. Namun disaat melihat lagu ke-4 dengan penuh irama keras dan menghentak, sudah waktunya untuk membawa tema ini ke nuansa antiklimaks. Dengan ‘berkedok’ lagu yamko rambe yamko dan cuplikan dari berbagai lagu sebelumnya, serta diikuti dengan sepenggal sing-sing so ala bolero, berangsur-angsur melembut pelan dan diakhiri dengan seorang pemain snare drum ditengah lapangan, tanda pagelaran telah usai.
Lebih jelas, Marko 20 lantas mengilustrasikannya dalam bentuk grafik seperti di bawah ini;
Menurutnya, inspirasi yang bisa diambil dari grafik ini adalah bahwa, lagu-lagu yang terpilih kemudian akan mampu menyesuaikan dengan ‘selera hati nurani’ sang pelatih. Adanya ketersambungan mood tanpa jeda antar lagu dan kebangkitan emosional yang diharapkan dari penonton. Ketiga ‘output’ inilah yang secara jitu diharapkan mampu menjaga temperatur mood dan psikologis team agar tetap dalam kondisi terbaik, meski kelelahan secara fisik mendera tak terelakkan.
Strategi ‘Sihir’ Pop Culture : Mengukur Idealitas Kaum Marcher
Sungguh, sebagai bagian dari produk high culture, komunitas marching band kian mendapat tantangan dan ujian yang tak ringan. Mengapa? Bagaimana tidak, di tengah modernitas jaman saat ini, dimana gaya hidup modern yang telah membenam dalam-dalam pada perilaku remaja dan siswa-siswi sekolah beserta segala simulasi pseudo-harmoninya, cukup membuai-menggoda kita untuk terpikat masuk ke dalamnya. Kerja keras, disiplin, keteraturan dan kesabaran merupakan etos ‘kerja’ para kaum marcher ini, sedang perilaku serba mudah dan memudahkan ditingkahi serba instan adalah jiwa dan gaya kehidupan hedonis21 yang sangat kontradiktif dengan semangat maupun gaya hidup para marcher22. Maka, ketika ada sebagian remaja atau siswa sekolah yang memilih menghabiskan waktu luangnya dengan berkegiatan marching band sebagai tempat menyalurkan hasrat idealisme musikalitasnya di tengah jaman serba digital ini, mungkin saja menjadi sesuatu hal yang ‘aneh’ dan mengherankan untuk ukuran remaja kota besar sekelas metropolitan, jika ditilik secara elaboraif dari sudut pandang dan sejarah pop culture itu sendiri.
Pop culture, lebih dilihat sebagai budaya yang muncul dari interaksi sehari-hari dari kebutuhan suatu masyarakat tertentu. Budaya ini mencakup seluruh praktek kehidupan sehari-hari, mulai dari memasak, gaya berpakaian, olahraga dan dunia hiburan. Semuanya dicakup dalam budaya populer. Dengan demikian, budaya populer adalah budaya yang bermacam-macam, bersifat dinamis atau selalu berubah-ubah, entah dalam jangka waktu pendek atau panjang. Definisi ini membuat budaya populer berbeda dengan dengan high culture yang cenderung lebih stabil. Budaya populer selalu berubah mengikuti perkembangan jaman. Sebuah formula baku dalam pop culture, semakin ngepop dan komersil, semakin rendah mutunya23.
Melihat efek domino pop culture yang kian ngepop ini, membuat Baudrillad (2006)24 mengungkapkan sentilan tajamnya. Menurutnya, konsumsi yang dilakukan oleh orang-orang saat ini bukanlah apa yang mereka butuhkan, namun yang mereka inginkan. Sehingga setiap orang berbagi satu kesamaan penting yakni, mereka semua seragam dalam penggunaan simbol-simbol modernitas. Dari realitas ini menjadi jelas bahwa, menjaga eksistensi dan idealitas komunitas marcher tak bisa ditawar-tawar lagi. Salah satu contoh dari sisi internal institusi pendidikan misalnya, di seluruh sekolah dari tingkat TK hingga menengah (baca: SMP dan SMA) di Indonesia, kegiatan ekstra kurikuler drum band dan marching band dijadikan ekstra kurikuler penting. Syukur menjadi kegiatan yang mesti diikuti siswa. Dalam pelaksanaannya, dicoba secara aplikatif memadukan unsur filsafat dan sejarah marching band dengan pendidikan kewiraan yang diramu secara teoritis.
Dalam mana siswa nantinya diharapkan untuk menyerap lebih dalam sisi pembelajaran budi pekerti yang mendasari tujuan pembinaan kegiatan marching band, di antaranya adalah pelajaran moralitas dan nilai-nilai perjuangan bangsa, kesenian, kedisiplinan, kewiraan, kesabaran, kekompakan serta pelajaran tenggang rasa dan menjaga harkat-martabat sekolah masing-masing. Sedemikian rupa, sehingga para siswa ini secara sadar menjadikan kegiatan marching band sebagai sebuah prestige dan kebanggaan tersendiri, baik untuk pribadi maupun secara institusional. Diharapkan dari pelajaran ini nantinya mampu menanamkan jiwa patriotik dan jiwa kepejuangan dalam sistem tindakan dan pola berpikir siswa, sehingga siswa memiliki kepribadian yang kukuh-kuat berpijak pada identitas tradisi dan budaya bangsa sendiri meski mereka hidup di tengah modernitas jaman yang kian maju. Pelajaran teoritis seyogyanya dimasukkan dalam silabus kurikulum sekolah, sehingga bisa dimonitor perkembangan sekaligus kekurangannya.
Mensikapi hal ini, semestinya masing-masing pemerintah daerah segera tanggap, anggaran dana guna mendukung curah gagas atau pemikiran di atas dialokasikan dari mana, APBD ataukah dari sumber dana lain. Mengingat tak semua sekolah ‘mampu’ memiliki peralatan drum band. Tentunya, sinergisitas elegan dan bertanggung jawab antar pihak-pihak terkait serta berkompeten, menjadi kunci sukses dari gagasan pemikiran ini.
Agenda penting selanjutnya adalah, bagaimana strategi membentengi kobaran api idealisme sahabat komunitas marcher agar tak lekas padam dihembus kencang angin ‘sihir’ pop culture? Adalah ‘sihir hokus-pokus’ bermantrakan teknologi berbasis informasi dan kekuatan media massa super canggih, dimana ‘nasib’ seseorang atau sekelompok orang seolah ditentukan ‘kemurah-hatian’ mantra-mantra jenis postmodern ini. Persis seperti preposisi Hikmat Budiman, dunia kita tempat di mana kemustahilan dan keajaiban bergandeng mesra, telah diambil posisinya oleh teknologi. Jawaban atas pertanyaan itu, tentu kembali kepada sahabat marcher sendiri yang mampu menjawabnya.
Mungkin, kepedulian semacam inilah yang menjadi salah satu strategi kultural dalam menjaga serta membentengi generasi penerus kita agar tak terpengaruh oleh kencangnya tiupan angin ‘sihir’ pop culture yang sanggup memporak-porandakan identitas sekaligus idealitas sebuah bangsa. Dengan demikian, semoga kita terhindar dari apa yang dikatakan oleh Ritzer (2006)25 tentang efek negatif pop culture, selanjutnya ia menegaskan, bahwa efek terdahsyat pop culture mampu menciptakan ‘the globalization of nothing’, yakni konsumsi yang dilakukan oleh seseorang justru bergerak kearah ketiadaan yang disusun secara sentralistis dan tak memiliki substansi yang khas, atau dalam istilah berbeda, orang tak lagi menjadi dirinya, namun menjadi seragam dengan orang lain. Bayangkan, jika generasi penerus kita sudah tak memiliki akar pijak identitas atas tradisi serta budaya yang kuat, tentunya dengan jelas kita tahu apa yang akan terjadi, menjadi ‘orang lain’ di negeri sendiri yang disetir oleh kekuatan besar budaya massa atau pop culture.
‘Keanehan’ cara pandang remaja dan siswa-siswi komunitas marcher dalam mempertahankan eksistensi dan idealitas mereka tersebut, bisa jadi oleh teman-teman sebaya mereka dijuluki penuh satire dengan label populis ‘kagak gaul’, sebab ‘malas’ mengikuti perkembangan jaman seperti pola-pola perilaku hedonis-materialis yang mereka lakoni. Sebuah era dimana gaya hidup postmodern26 kian berurat-akar pada sendi-sendi vital masyarakat kita khususnya kaum mudanya, terlebih pada distrik kota paling urban alias kawasan metropolitan.
Kaum muda pada area dimaksud sering terlihat dandy atau senang berpenampilan metroseksual27. Lantas, bagaimana mungkin bisa tertarik dengan dunia marching band yang penuh dengan kucuran keringat, penempaan mental dan fisik, bila yang ada di kepala mereka hanya ingin terlihat bersih, wangi dan rapi alias dandy. Budaya yang mereka usung pun bukan lagi budaya rural yang berideologikan terhadap kepemilikan luasnya sawah-ladang yang dimiliki oleh suatu keluarga, tapi lebih kuat cenderung ke industrial culture. Sangat kontras dengan etos kinerja para marcher yang akrab dengan kerja keras dan ketekunan berlatih, menjaga kebugaran tubuh dan disiplin diri, menjadi kebutuhan yang tak bisa dikesampingkan begitu saja.
Tolok-ukur gaul pun sebenarnya masih terasa niesby dan, sahabat marcher pun tak perlu menjadi ‘korban’ provokasi sumbang pop culture jika hakekat jiwa marcher telah menyatu dalam sistem perilaku dan pola tindakan kita. Namun lain ceritanya bagi kalangan pemuja hedonis misalnya, bisa jadi ukuran itu dilihat dari seberapa sering nongkrong di pub atau café, seberapa sering begadang di resto-resto fastfood produk luar negeri, seberapa sering keluyuran di mall-mall atau mungkin seberapa sering mencicipi ‘banyu geni’28 dan seberapa sering pulang pagi – bukan pulang malam lagi – untuk urusan nongkrong yang tak jelas juntrungannya. Parameter yang digunakan tersebut merupakan produk budaya massa yang paling banyak menyedot energi vitalitas para penikmat glamourisme.
Menjadi sebuah kewajaran, jika teman-teman marcher sekalian yang mencintai bahkan menghayati marching band sebagai bagian dari prestige atau harga diri mereka, menolak mentah-mentah ajakan serta bujuk rayu ‘setan’ yang berkerudung glamourisme itu. Tipikal gaya hidup seperti itu jelas-jelas bertolak belakang dengan semangat dan jiwa pejuang29 yang melekat kuat dalam dada seorang marcher sejati. Harga diri adalah sebuah kehormatan, kehormatan bermuara akhir pada terjaganya martabat citra pribadi, keluarga dan komunitas di mana ia intens bersosialisasi. Komunitas marcher jelas tegas dalam memegang prinsip, yakni profil seorang marcher sejati yang loyal terhadap amanah moral yang diembannya30.
Penutup
Pertanyaan yang menggelitik kemudian adalah, bagaimana mungkin bisa berlatih atau tampil secara maksimal, jika seseorang yang aktif dalam kegiatan marching band mesti keluyuran atau begadangan hingga pagi tanpa alasan yang masuk akal? Kelelahan secara fisik maupun mental jelas tak akan pernah ditolerir bagi seorang marcher oleh sebab masalah mental seperti itu, karena sangat mengganggu totalitas performa team secara keseluruhan31.
Sayangnya, mental labil mereka sebagai remaja ABG belum siap menerima hentakan pengaruh globalisasi informasi yang mewujud dalam rupa internet dan realitas virtual, computer games, clubbing dan diskotek, fitness center, fashion dan mungkin lebih jauh lagi, perilaku seks bebas. Kesemuanya memang terang-terangan memanjakan syahwat dan libido hedonis yang seolah menjelma jadi ‘virus’ ganas mematikan dan, naifnya lagi, atmosfer kelam ini secara massif disebarkan melalui ‘sisi hitam’ pop culture yang menurut nalar Hikmat Budiman32, kita semua sebagai masyarakat modern pecandu paling militan produk pop culture, cepat atau lambat akan segera terhisap masuk ke dalam cengkeraman ‘jahatnya’, terseret masuk ke dalam lubang hitam kebudayaan. Sebuah jurang tak berdasar yang tak akan pernah membiarkan keluar lagi bagi siapa pun yang masuk sekaligus ‘terjebak’ ke dalamnya.
Sinyalemen Hikmat Budiman di atas tadi tak bisa kita pandang remeh apalagi sambil lalu, terutama bagi komunitas marcher. Budaya tinggi yang kini kian terancam oleh dinamika digitalisasi teknologi di hampir semua bidang kehidupan manusia, secara signifikan berimbas pada pola perilaku masyarakat. Teknologi cukup identik dengan keinstanan dan kemudahan, alhasil instanisasi perilaku pun kian menggerus budaya kerja keras masyarakat kita.
Akhirnya, komunitas marcher menghadapi dua cabang perseberangan realitas yang mesti dipilih, resiko dan konsekuensi jelas telah menunggu di belakang, kedua cabang perseberangan itu adalah mempertahankan idealisme atau menerima realitas jaman. Semoga Tuhan Yang Maha Welas Asih senantiasa mengarahkan pilihan pada jalan terbaik. Salam marcher Indonesia!(By/aDJ)
Sumber : http://www.ppromarching.com
—————————————————————————–
1 Raymond Williams, “Culture”, Glasgow, Montana Paperbacks, 1981.
2 Sekedar ilustrasi tambahan, sejarah marching band dan perkembangannya di Indonesia dapat dilihat dalam nawalaposindo.org
3 A.R. Brown, “Popular Music Culture, Media and Youth Consumption: Towards an Integration of Structure, Culture and Agency”, Sociology Compass (2) dalam Khaerul Umam Noer, Against Pop Culture: Komunitas Indie dan Penolakan Terhadap Mainstream Populer, Disampaikan pada panel Popular Culture, Social Life and Translocal Identity, dalam 5th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia, Banjarmasin, 22 – 26 Juli 2008.
4 Asumsi ini penulis temukan dalam sebuah artikel singkat di Wikipedia yang khusus membahas masalah marching band baik secara etimologis maupun historis.
5 Pengayaan referensi atas instanisasi perilaku masyarakat yang relatif identik dengan budaya massa, sebagai alternasi, penulis sarankan mengkaji tulisan Hikmat Budiman, “Lubang Hitam Kebudayaan”, Jogjakarta, Kanisius, 2001, h. 52 – 53. Layak juga sebagai bahan pertimbangan, melihat tulisan Titi Nur Vidyarini, “Budaya Populer dalam Kemasan Program Televisi”, Jurnal Ilmiah Scriptura, Vol. 2, No. 1, Januari 2008, h. 31 – 33.
6 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h. 304, dalam Titi Nur Vidyarini, Budaya Populer dalam Kemasan Program Televisi, Jurnal Ilmiah Scriptura, Vol. 2, No. 1, Januari 2008, h. 29 – 37.
7Seperti dituturkan oleh Prof. Deviana Daudsjah, Institut Musik Daya, Conversation Session, Jakarta, 2002., dalam Marko S. Hermawan, “Tips 3 K”, Trendmarching : Situs Library Indonesia Marching Band Indonesia, 10 Juni 2002.
8 Artikel ini penulis rujuk dari www.bengkelmusik.com
9 Sebagai perbandingan mengenai seberapa manfaat kegiatan marching band terhadap perkembangan mentalitas remaja atau siswa, bisa dilihat pada tulisan Sri Wiyati, Penerapan Variasi Metode Mengajar dalam Proses Pembelajaran Ekstrakurikuler Musik Drum Band di SMP Negeri 1 Sambi Boyolali, Skripsi Sarjana Strata I Jurusan Sendratasik Program Studi Pendidikan Seni Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, UNS, Semarang, 2005.
10 Dominic Strinati, Popular Culture, terj., Jogjakarta, Bentang, 2004.
11 Musik ala marching band identik dengan ceremonial-formal ditingkahi dengan lagu-lagu berkategori hymne atau ode (penghormatan); para pemain terikat kuat pada legalitas dan formalitas yang telah baku (baca: military syle); kedisiplinan, kekompakan, keteraturan personel sangat diutamakan. Termasuk dalam kategori budaya tinggi, karena mengemban misi pembentukan karakter budi dan daya nalar manusia, utamanya pembentukan mental attitude, sedang pop culture kebalikannya. Namun, pada perkembangannya, jenis ritmik lagu yang dimainkan oleh orkestrasi marching band ini lambat laun kian rampak dan beragam, balutan dan hentakan musik pop, dangdut, blues bahkan rock sekalipun mampu dipersembahkan dengan apiknya, aransemen yang memadai menjadi kata kunci di samping keuletan dan ketekunan dalam berlatih. Dua kata, tekun dan ulet, menjadi inspirasi bagi penciptaan sebuah karya yang monumental dalam ranah musik ‘bergenre’ marching band ini.
12 Budaya tinggi diartikan sebagai salah satu aspek kebudayaan suatu masyarakat yang eksistensinya bersumber dan bercitra dari nilai-nilai mendasar yang dimiliki oleh kebudayaan tersebut. Budaya tinggi merupakan pengejawantahan dari aspirasi moral dasar, penghayatan masyarakat akan kehidupan dan cenderung memiliki kemampuan khusus untuk menerapkannya. Beberapa contoh budaya tinggi adalah musik klasik ala Mozart, Bach, Schubert dan sebagainya; gamelan, wayang dan tari-tarian tradisional daerah kita pun, masuk kategori budaya tinggi, minimal dilihat dari proses penciptaannya (Titi Nur Vidyarini, Budaya Populer dalam Kemasan Televisi, Jurnal Ilmiah Scriptura, Vol. 2, No. 1, Januari 2008, h. 29 – 30)
13 Hipotesa ini diketengahkan oleh Tentrem Mujiono dalam tulisannya, “Marching Band, Aktivitas Seni nan Mencerdaskan”, dalam www.kabarindonesia.com, 21 September 2008.
14 Sebagai ilustrasi, menurut press release Pemerintah Kota Bogor melalui situs resminya per tanggal 5 Juni 2007, disinyalir bahwa animo masyarakat kota Bogor terhadap eksistensi marching band di kota hujan itu semakin digandrungi oleh masyarakatnya. Kenyataan ini bisa tercipta karena ada sinergisitas yang mutualistis antara pemerintah dengan warganya, salah satu bukti bahwa marching band telah mendapat tempat tersendiri dalam ruang publik warga kota Bogor yang kemungkinan besar akan dikuti oleh kota-kota lainnya. Demikian juga animo warga kota Surabaya terhadap kontribusi marching band seperti dirilis www.suarasurabaya.net, 28 Januari 2009, Walikota Surabaya, Bambang Dwi Hartono yang hadir dalam pembukaan Kejurnas drum band di Balai Kota Surabaya, Rabu (28/01) memberikan apresiasinya atas diselenggarakannya Kejurnas drum band ini. Walikota mendorong agar sekolah-sekolah khususnya di Surabaya menjadikan drum band sebagai ekstra kurikuler untuk melatih kedisiplinan dan kekompakan siswa.
15 Disarikan dari, “Yang Perlu Anda Tahu Tentang Marching Band”, oleh Forum Komunikasi Drum Band-Marching Band Ciamis, 15 Mei 2008.
16 Menurut Marko S Hermawan, seorang Staff Pengajar Binus Business School, dalam tulisannya, “Tips memilih tema marching band”, dalam www.citraintirama.com, 11 Februari 2009, proses seleksi tipikal dan genre musik sangat menentukan performa team secara keseluruhan.
17 Ibid.
18 Ibid.
19 Ibid.
20 Ibid.
21 Lihat kembali tulisan Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, Jogjakarta, Kanisius, 2001, cerita-cerita kebudayaan dan budaya hedonis-materialistik serta pengaruhnya terhadap generasi muda banyak dipapar secara elaboratif, tentu dalam kacamata ilmu-ilmu sosial berbasis paradigma sosiologi dalam bahasa kritis-cerdas-tuntas-lugas gaya Hikmat Budiman.
22 Marko S Hermawan dalam beberapa tulisannya, secara naratif-elaboratif coba memapar cerdas tentang semangat dan etos kerja kaum marcher ini; keuletan dan ketekunan berlatih yang luar biasa menjadi pondasi kuat jiwa mereka untuk berhasil, di antara tulisannya adalah, Mari Mencerdaskan Per-marching-band-an, Episode 1-2, dalam www.trendmarching.or.id
23 Untuk pendalaman materi mengenai pop culture penulis sarankan mengkaji tulisan Khaerul Umam Noer, “Against Pop Culture: Komunitas Indie dan Penolakan Terhadap Mainstream Populer”, 5th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 22nd -26th July 2008. Disampaikan pada Panel Popular Culture, Social Life, and Translocal Identity, dalam 5th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia, Banjarmasin 22-26 Juli 2008. Penulis adalah Koordinator Kajian Sejarah dan Sosial Nuruttaqwa Foundation Bekasi, www.umamnoer.co.cc
24 J.P. Baudrillad, Masyarakat Konsumsi, Cet. II, Jogjakarta, Kreasi Wacana, 2006.
25 George Ritzer, The Globalization of Nothing: Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi, Jogjakarta, Penerbit Universitas Atma Jaya, 2006.
26 Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lainnya (Chaney, 2004; dalam Cons. Tri Handoko, Nirmana, Vol. 6, No. 2, Juli 2004). Chaney secara elaboratif menjelaskan bahwa, gaya hidup secara prinsipil sesungguhnya adalah cara bermain dengan identitas. Namun, dari paradigma strategi, gaya hidup dimaknai sebagai cara-cara khas perjanjian sosial (social engagement) atau bisa juga sederetan narasi dari identitas dimana sang aktor (individu atau kelompok) mampu untuk menyimpan metafor-metafor yang ada dan terjadi (David Chaney, Lyfe Styles, Sebuah Pengantar Komprehensif, terj. Nuraeni, Jogjakarta, 2004; dalam Cons. Tri Handoko, Nirmana, Vol. 6, No. 2, Juli 2004).
Bagi para pemerhati kajian Sosiologi Budaya, penulis secara pribadi menyarankan bahwa, pemikiran Chaney di atas akan terasa berimbang, lebih tajam, detail dan komparatif tatkala dikritisi dari persepsi Teori Aktor model Weberian.
27 Kajian lebih komprehensif mengenai dunia metroseksual bisa dilihat dalam tulisan Cons. Tri Handoko, Metroseksualitas Dalam Iklan Sebagai Wacana Gaya Hidup Postmodern, Nirmana, Vol. 6, No. 2, Juli 2004, h. 132-142.
28 ‘Banyu geni’ adalah sebuah istilah bahasa Jawa untuk minuman berkadar alkohol dan memabukkan.
29 Kirnadi dalam tulisannya, Kegiatan Marching Band di Sekolah, dalam www.bengkelmusik.com, menyebutkan bahwa dasar tujuan kegiatan marching band adalah pembinaan kewiraan, yakni terbentuknya mental dan watak pejuang pada diri siswa atau pelajar.
30 Sebagai pengingat, coba periksa kembali tulisan penulis, Semarak Marching Band: Media Alternatif Melatih Karakter Kepemimpinan Moralitas Pada Siswa (Suatu Kajian Sosiologis) dalam www.trendmarching.or.id
31 Sebagai pembanding, lihat tulisan Marko S. Hermawan, Mari Mencerdaskan per-marchingband-an (Episode – 1), dalam www.trendmarching.or.id
32 Secara metaforis Hikmat Budiman menyebut, di balik realitas itu, ada 3 ikon pop culture yang cukup representatif untuk menafsiri fenomena aktual tersebut dan paling menarik perhatian massa; pertama, hamburger McDonalds sebagai ikon dari realitas konsumsi massa; kedua, computer sebagai ikon teknologi simulasi, informasi dan komunikasi massa; ketiga, MTV sebagai ikon hiburan massa. Kemanapun anda pergi, imbuhnya kemudian, anda akan terus dibombardir oleh ketiga ikon budaya postmodern ini, dilumpuhkan dan dihisap masuk ke dalam sebuah dunia tempat keajaiban dan mukjizat telah direbut oleh teknologi, serta kemustahilan dan libido dikelola menjadi konsumsi yang menghibur. Hikmat melihat jeli bahwa, Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia telah menjadi ‘etalase cultural’ dari sederetan ikon budaya massa global yang suka atau tidak suka kita semua mesti hidup dalam satu relasi saling mempengaruhi (Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayan, Jogjakarta, Kanisius, 2001, h. 32-33)
Related posts:
Short URL: https://trendmarching.or.id/read/?p=1196