|

MARCHING BAND DAN PRESTASI BELAJAR SISWA

Refleksi Fungsional-Pedagogis Terhadap Peranan Ekstra Kurikuler Marching Band Dalam Mengangkat Prestasi Belajar Siswa

Pengantar

Skema permasalahan pendidikan di Indonesia jika dilihat dari perspektif fungsional-pedagogis menurut Mochtar Buchori1 lebih terletak pada kemampuan institusi pendidikan untuk melahirkan perbaikan inter-generasional dan intra-generasional dalam tubuh pendidikan itu sendiri.

Sedang dalam persepsi Anderson (1977)2, secara sentripetal, pembangunan Indonesia diarahkan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya serta masyarakat Indonesia seluruhnya dalam rangka mewujudkan wajah masyarakat yang adil-makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Konsekuensinya, dengan cara memperluas dan meningkatkan kualitas pendidikan bagi seluruh warga Negara.

Kualitas SDM pendidikan serta sarana-prasarana memadai dan manajerial yang profesional, pada sebuah institusi pendidikan diharapkan mampu untuk mendongkrak prestasi siswa yang pada gilirannya mengangkat prestige sekolah yang bersangkutan. Kita semua telah memahami, selama ini institusi sekolah telah cukup memberi perhatian lebih pada pendidikan intra kurikuler sebagai pondasi utama pembelajaran. Realitas empiris ini memang mesti disetting demikian, namun begitu, kini telah tiba waktunya untuk lebih menggali potensi terpendam pada matra ajar eksperimentatif yang bernama populis, ekstra kurikuler. Tentu, eksperimen di sini bukan berarti asal-asalan dan menebak-nebak tanpa dasar sama sekali, meski kebanyakan opini publik melihat tentang manfaat kegiatan ekstra kurikuler ini dengan tatapan minir.

Marching band, bila ditilik dari citra sejarah serta filosofisasi yang mengelilinginya, bisa dikategorikan sebagai primadonanya ekstrakurikuler sekolah. Bagaimana tidak, beberapa literasi3 mutakhir yang telah mengeksplorasi dunia marching band dari multi perspektif, secara naratif mayoritas berbicara positif tentang puspa-ragam seluk-beluk serta pengaruh sugestif yang ditimbulkannya bagi pemberbudayaan karakter maupun sikap mental siswa. Menjadikan siswa lebih berbudaya dan cerdas4.

Pembelajaran intra kurikuler banyak disinyalir pakar pedagogis melatih otak sebelah kiri sedang ekstra kurikuler mengasah belahan otak kanan, jadilah ia neraca keseimbangan. Keseimbangan secara psikologis berefek menentramkan jiwa.

Goldman (dalam Erman, 2004)5 kian melengkapi testimonial di atas, selanjutnya ia mengatakan bahwa, kecerdasan individu terbagi ke dalam kecerdasan intelektual (IQ) pada otak kiri dan kecerdasan emosional (EQ) pada otak kanan yang saling mempengarahui, di mana IQ berkontribusi untuk sukses hanya sekitar 20% sedangkan EQ bisa mencapai 40%. Dengan demikian kompetensi siswa menjadi terlatih dan mendapatkan posisi serta porsi yang semestinya diperoleh yakni, mengekspresikan kompetensinya pada pelajaran ekstra kurikuler, utamanya marching band. Artinya pula, antara Kirnadi selaku pelaku lapangan (baca: pelatih senior drum/marching band) dengan pernyataan Goldman ini memiliki tingkat kohesifitas yang tinggi dan terbukti korelatif, dan agaknya pula telah cukup memberikan kerangka pijak yang kuat bagi pemahaman dan pencerahan kita semua, mengapa perhatian yang lebih serius lagi sekaligus pembinaan ekstra kurikuler marching band yang dilakukan secara lebih profesional lagi dalam hal koordinasi dan manajerialnya di setiap institusi pendidikan atau sekolah-sekolah semakin ditingkatkan kualitasnya. Sehingga keberadaan maupun peran marching band tak lagi dianggap matra ajar ‘sampingan’. Lebih dari itu, secara pedagogis pemikiran Goldman di atas kian meyakinkan para stake holder terkait bahwa, waktu yang tepat untuk mengangkat ekstra kurikuler marching band ke posisi dan porsi terhormat di sekolah-sekolah, memang telah tiba!

Tinggal political will dari para pengambil kebijakan terkait yang mesti tanggap, apalagi kini drum band telah resmi masuk dalam salah satu cabang olah raga yang dipertandingkan dalam PON (Pekan Olah Raga Nasional) XVIII tahun 2012 di Riau dengan tanpa eksibisi!6 Artinya, penghargaan dan penghormatan terhadap eksistensi dan kontribusi drum band dalam kancah olah raga tingkat nasional benar-benar diperhitungkan. Tentu hal ini mengisyaratkan kepada pihak-pihak terkait yang berkompeten dalam masalah ini, dituntut untuk lebih serius dan lebih profesional lagi menata segala macam tingkat urusan yang berkaitan secara langsung maupun tidak dengan kemajuan serta peningkatan kegiatan serupa, utamanya di sekolah-sekolah yang memiliki ekstra kurikuler marching band. Karena institusi seperti sekolah inilah tempat persemaian terbaik, cikal-bakal terpilih bagi lahirnya marcher-marcher tangguh yang berbudi-pekerti, berprestasi dan berpendidikan tinggi.

Maka sudah semestinya, para pemerhati pendidikan, pengambil kebijakan serta pihak yang berkompeten dalam masalah ini, kian menyadari bahwa, kecerdasan rasional yang telah dicapai seseorang tak akan pernah ada artinya tanpa dibarengi dengan kecerdasan intuitifnya7. Salah satu media melatih kecerdasan intuitif yang telah teruji adalah fungsionalisasi dan optimalisasi kegiatan ekstra kurikuler marching band secara pedagogis8. Kian terbaca jelas bahwa, moment berharga dan strategis ini hanya dimiliki oleh institusi sekolah.

Metodologi9 pendidikan di sekolah menurut De Porter (1992)10 sangat tepat dalam menjembatani kepentingan pedagogis semacam ini, karena belajar merujuk pada aktivitas siswa, sedang aktivitas individu dapat dipengaruhi oleh kondisi emosional. Maka telah sepantasnya jika diciptakan suasana pembelajaran yang kondusif dalam keadaan nyaman dan menyenangkan, yang hal ini merupakan tugas seorang guru sebagai pendidik.

Menurut De Porter selanjutnya, dengan suasana yang kondusif inilah maka lahirlah motivasi dan kreativitas. Kondisi seperti ini merupakan suatu cikal-bakal aktivitas dalam belajar. Kenyataan mana telah sesuai dengan prinsip pakem, yakni pembelajaran aktif, kreatif dan menyenangkan. Di dalam kegiatan ekstra kurikuler marching band, ketiga modal prinsipil tersebut telah menemukan jawabannya yakni, mengandung unsur pendidikan seni musik, olah raga yang kreatif karena mengkombinasikan sisi kebugaran jasmani dan musikalitas serta, hiburan yang menyenangkan, karena berpadu-padannya artistikal gaya dan model pakaian personelnya yang bagai fashion show dengan ditingkahi blocking baris-berbaris nan dramatis, rapi dan menawan serta, dinamisasi aransemen musiknya yang terdengar merdu-harmonis di telinga.

Beberapa pecinta dan pemerhati marching band sepakat, magnet tipikal inilah yang membuat ekstra kurikuler marching band memiliki daya pikat tersendiri, yakni memadukan edukasi dan rekreasi dalam satu cipta kreasi. Kemampuan yang dimiliki oleh para personel marching band tersebut tentu telah sebanding dengan ketekunan dan kedisiplinannya dalam berlatih, disamping adanya motivasi dalam pribadi yang luar biasa kuat untuk maju, berkembang dan berprestasi.

Motivasi, Nalar dan Kreativitas Siswa : Marcher Sejati, Berprestasi Tak Setengah Hati

Kamus Bahasa Indonesia mengeksplanasikan motivasi sebagai dorongan yang muncul dalam diri seseorang secara sadar atau tidak, guna berbuat dan atau melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu11. Secara eksploratif pengertian motivasi oleh E. Kusmana Fachrudin (2000)12 dibedakan atas dua stereotype yaitu :

1. Motivasi Asli, adalah motivasi untuk berbuat sesuatu atau dorongan untuk melakukan sesuatu yang muncul secara kodrati pada diri manusia.
2. Motivasi Buatan, adalah motivasi yang masuk pada diri seseorang baik sebuah usaha yang disengaja maupun secara kebetulan.

Selanjutnya, Irianto (1997)13, mengatakan motivasi eksternal adalah setiap pengaruh dengan maksud menimbulkan, menyalurkan atau memelihara perilaku manusia. Realitas ini semakin dikuatkan oleh Mulia Nasution (2000)14, bahwa motivasi dari luar adalah pembangkit, penguat, dan penggerak seseorang yang diarahkan untuk mencapai tujuan, yakni mencapai prestasi yang diharapkan. Sebab tidak mudah menyeimbangkan antara prestasi belajar intra kurikuler atau akademis yang telah dicapai dan dipertahankan, dengan prestasi ekstra kurikuler di bidang marching band baik yang akan maupun telah dicapai. Diperlukan sebuah kesabaran maupun kedisiplinan tinggi dalam menjaga kedua ranah prestasi ini.

Kalau ditanya mengapa tak mudah, semestinya kita melihat bahwa pencapaian prestasi belajar tak terlepas dari diskursus arti belajar itu sendiri. Suryabrata (1984-1985)15, mengidentifisir bahwa belajar adalah usaha yang dilakukan secara sengaja, yang menimbulkan perubahan perilaku baik secara aktual maupun potensial dan berlaku dalam waktu yang relatif lama.

Aktivitas belajar tak dapat dipisahkan dari prestasi belajar, kegiatan belajar merupakan proses, sedang prestasi belajar merupakan hasil dari proses belajar. Alhasil, beberapa faktor berikut ini berperan aktif mempengaruhi konsentrasi belajar di antaranya, kemampuan bawaan anak, kondisi fisik dan psikis, kemauan, sikap murid terhadap guru dan mata pelajaran serta pengertian mereka mengenai kemajuan mereka sendiri dan bimbingan (Masrun dan Martaniah, 1973)16. Kondisi belajar yang mencitrakan kondusifitas pengembangan intelektualitas siswa secara aktif-kreatif bila dipadu-padankan dengan kegiatan ekstra kurikuler semisal marching band maka, keseimbangan otak kanan-kiri siswa menjadi terpenuhi dengan sempurna.

Disamping cerdas secara rasional, sisi pembelajaran emosional pun mampu dicapai maksimal. Salah satu out put pembelajaran emosional dari marching band adalah jiwa atau watak kepemimpinan yang tumbuh dalam pribadi siswa. Bruce J. Cohen (1979)17
melihat semangat kepemimpinan ini sebagai :

1. Instrumental leader, who will organize and direct the group, keeping in mind its goals and objectives and is responsible for formulating the means that will be used to reach these ends.
2. Expressive leader, who tends to create feelings of good will and harmony within the group: morale is usually maintained at a high level, and internal disruption is held to a minimum.

Secara imperatif, pemikiran Bruce J. Cohen di atas bila dicermati benar mampu untuk menghidupkan semangat kepemimpinan yang terdapat pada seorang paramananda atau paramanandi. Kemampuan mereka terlahir karena didikan dan latihan yang terukur serta berkesinambungan. Di bahu mereka terselempang beban moral yang tak ringan, merekalah teladan bagi teman-teman anggota marching band lainnya. Pada sisi lain, hampir mirip dengan pandangan Bruce J. Cohen, Krech and Crutchfield (1948)18, lebih mengkritisi semangat kepemimpinan paramananda/paramanandi dari dimensi symbol of the group, yakni seorang pemimpin yang menjadi lambang dari apa yang dipimpinnya sekaligus berkarakter sebagai seorang panutan atau as exemplar, yakni segala perilakunya menjadi teladan juga pengamatan dari kelompok yang dipimpinnya.

Oleh karenanya, sekolah sebagai sebuah institusi edukatif sangat tepat jika dijadikan benih persemaian bagi tumbuhnya jiwa kepemimpinan siswa yang terkandung secara implisit dalam olah seni marching band. Kepiawaian seorang paramananda atau paramanandi untuk mengatur pasukan baik gerak baris-berbaris maupun musikal artistiknya menjadi sebuah harmoni penampilan yang utuh dan rampak, bukanlah pekerjaan mudah. Dibutuhkan suatu pendidikan atau pelatihan luar biasa di dalamnya maka, sudah menjadi jamak ketika sekolah bertugas melakukan fungsi pedagogisnya tersebut. Di mana fungsi pedagogis sekolah secara sosiologis oleh Bruce J. Cohen (1979, h. 71)19 ditegaskannya sebagai :

– Providing preparation for occupational roles
– Serving as a vehicle for the transmission of cultural heritage
– Acquainting individuals for certain expected socials roles
– Preparing individuals for certain expected social roles
– Providing a basis for evaluating and understanding relative status
– Promoting change through involvement in scientific research
– Strengthening personal adjustment and improving social relationships

Antara belajar dan prestasi belajar, terutama bagi siswa yang aktif dalam kegiatan ekstra kurikuler marching band, memang membutuhkan ekstra perhatian pula. Pembagian waktu atau pengaturan jadwal kegiatan intra maupun ekstra kurikuler mesti dikondisikan sedemikian rupa agar masing-masing kegiatan tak saling menghalangi atau berbenturan satu sama lain. Seperti diketahui bersama bahwa kegiatan marching band membutuhkan suplay energi dan latihan fisik yang ekstra berat. Latihan-latihan fisik seperti baris-berbaris, olah raga maupun senam kebugaran dan lain sejenisnya merupakan rutinitas fisik yang hampir pasti menjadi ‘menu pembuka’ para personel sebelum bermain marching band.

Sekedar ilustrasi, menurut standarisasi yang ditetapkan oleh PDBI (Persatuan Drum Band Indonesia), ukuran berat masing-masing alat perkusi minimal tidak boleh kurang dari 4,5 kilogram, multi tenor (trio/quad) minimal 5,5 kilogram dan yang terberat, bass drum tak boleh kurang dari 6,5 kilogram20. Salah satu mata lomba drum band adalah baris-berbaris, yang untuk SD berjarak 400 meter atau 1 (satu) keliling lintasan/track atletik ukuran internasional, regu putri berjarak 600 meter atau 1,5 (satu setengah) keliling lintasan/track atletik ukuran internasional serta, regu putra berjarak 800 meter atau 2 (dua) kali keliling lintasan/track atletik ukuran internasional21.

Sekarang kita bayangkan bersama, mereka membawa beban diluar berat tubuh mereka sendiri seberat minimal 4,5 kilogram dengan berjalan secara disiplin sejauh minimal 400 meter ditambah lagi mesti berkonsentrasi penuh memainkan alat musik perkusi. Perpaduan kerja fisik dan kerja otak mesti terjalin padu dan tak boleh sumbang. Dalam hal ini, sudah pasti ketahanan fisik menjadi taruhannya dan, konsentrasi penuh pun menjadi beban tambahan tersendiri. Betapa keras dan beratnya untuk menjadi seorang pemain marching band yang mustahil bisa dilakukan tanpa latihan fisik maupun mental yang terukur secara ketat.

Namun, ketekunan dan kedisiplinan dalam berlatih fisik dalam marching band telah semestinya berbanding lurus dengan ketekunan dalam belajar. Terlatih dalam hal kedisiplinan dan ketekunan sangat membantu memotivasi siswa untuk tekun belajar dan meraih prestasi. Sebab, prestasi belajar seorang siswa relatif berkorelasi positif dengan metode serta pola dan kebiasaan belajarnya sehari-hari. Paling tidak, inilah reportase penelitian ilmiah yang telah dilakukan oleh Purba Harjito dan Sukarti mengenai prestasi belajar siswa beberapa tahun silam22. Padahal, saat itu Purba Harjito dan Sukarti tak melihat kegiatan ekstra kurikuler marching band sebagai salah satu variabel hipotesisnya dalam memotivasi belajar siswa. Penelitian mereka hanya menggarisbawahi optimalisasi kinerja otak kiri belaka tanpa memperhitungkan potensi besar otak belahan kanan manusia.

Jadi, tak ada alasan bagi siswa bahwa, kegiatan marching band dijadikan musabab terganggunya prestasi belajar mereka. Masalahnya adalah bagaimana mengubah kebiasaan dan pola belajar siswa menjadi lebih efektif sedemikian rupa sehingga terjadi sinergi yang mutualistis diantaranya. Tak ada salahnya mempertimbangkan penelitian Harjito dan Sukarti di atas sebagai bahan referensi dan perbandingan.

Maka ketika fungsi otak kanan dan kiri bekerja optimal yang dipicu salah satunya oleh karena siswa aktif dalam kegiatan marching band (Goldman, 2005, dalam Erman Suherman, 2008)23, semestinya antara prestasi belajar dan kegiatan marching band mampu berjalan dan berbanding lurus. Agaknya, diperlukan suatu kebiasaan belajar tersendiri untuk mencapainya. Dalam pada itu, Brown dan Holtzman (1965)24 mengingatkan bahwa kegiatan yang disebut belajar itu akan selalu dilakukan sesuai dengan keadaan individu yang belajar, isi maupun materi yang dipelajari serta lingkungan berikut situasinya. Tipikal kegiatan semacam inilah yang dimaksudkan sebagai kebiasaan belajar. Selanjutnya dikatakan, rata-rata keberhasilan studi siswa karena mengikuti pola belajar yang teratur yakni, belajar pada tempat dan waktu yang teratur dan disiplin (Kolesnik, 1970)25.

Terkadang, ditemui banyak kasus pada siswa yang berprestasi rendah dan mengalami kegagalan hanya karena mereka tak memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang benar dan, ini justru jauh lebih banyak tatkala dibandingkan dengan sejumlah siswa yang gagal karena memang rendah kecerdasannya (Keiter, 1976)26.

Siswa yang aktif dalam kegiatan marching band telah terbiasa dengan kedisiplinan dan ketekunan dalam berlatih, baik secara fisik maupun dari sisi peningkatan pengetahuan musikalitasnya. Apalagi tatkala persiapan menghadapi perlombaan atau semacam festival marching band baik skala regional maupun nasional yang memiliki jenis mata lomba uji ketahanan fisik, setiap siswa diharuskan memiliki ketahanan tubuh yang prima27. Kebiasaan dalam menjalankan serba keteraturan dan kedisiplinan ini, pada gilirannya akan mampu memotivasi semangat untuk belajar dan berprestasi lebih baik lagi. Tatkala berprestasi di bidang marching band saja dapat dicapai dengan ketekunan berlatih yang maksimal, mengapa prestasi belajar tak bisa diraih dengan semangat dan metode yang sama?

Menggagas Marching Band sebagai Mata Ajar Intra Kurikuler

Sebagai bagian dari pendidikan kesenian khususnya seni musik, olah seni musik ala marching band kiranya bisa diwacanakan ke kalangan pemerhati pendidikan khususnya pemerhati kegiatan marching band bahwa, layak atau tidak model kegiatan berkesenian ini berpindah status menjadi pelajaran intra kurikuler.

Asumsinya sederhana saja bahwa, semakin berfungsinya otak kiri dan sebelah kanan pada masing-masing siswa diharapkan dapat berkorelasi positif terhadap kemajuan motivasi belajar dan peningkatan prestasi belajarnya. Keseimbangan yang diperoleh dari optimalisasi kinerja kedua belahan otak manusia tersebut, sangat dipercaya oleh para ahli pedagogis maupun psikologis mampu memberi efek menenangkan, menghibur dan membangkitkan semangat atau gairah seseorang untuk melakukan aktivitas kesehariannya, seperti telah disitir oleh Goldman (2005, dalam Erman Suherman, 2007)28, bahwa ketenangan dalam belajar diperoleh tatkala ketenangan batin juga tercipta secara optimal.

Persepsi teoritik Goldman tadi jika diimplementasikan ke dalam kondisi belajar-mengajar siswa, diimbangi oleh lingkungan rumah atau keluarga siswa yang intinya juga menjunjung tinggi ketenangan dan kondisi nyaman di sekolah, didukung sepenuhnya oleh Kellaghan (1977)29, ia mengatakan bahwa lingkungan keluarga mempunyai hubungan yang lebih erat dengan prestasi belajar siswa di sekokah dari pada intelegensi siswa itu sendiri. Secara pararel, Wechsler (dalam Crow and Crow, 1973)30 mentransparansikan intelegensi sebagai kemampuan keseluruhan yang dimiliki oleh individu untuk bertindak secara terarah, berfikir secara rasional dan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya secara efektif.

Artinya, tesis Kellaghan di atas menyatakan bahwa kehangatan hubungan di dalam keluarga memberikan andil potensial bagi konsentrasi belajar siswa, sedang dari sisi fungsional-pedagogis dan psikologis, alternasi pemilihan ekstra kurikuler marching band sebagai primadona kegiatan kreatif siswa. Merujuk dari berbagai sumber refrensi, secara emosional mampu meningkatkan kecerdasan, ketekunan, kedisiplinan dan kebersamaan siswa, di mana pembelajaran seperti ini mungkin hanya diperoleh secara teoritis belaka dari pelajaran sejenis lainnya, sedang kegiatan marching band memberikan pembelajaran secara langsung dan praksis.

Paling tidak ada 4 (empat) variabel penting di dalamnya yang pantas untuk dikaji lebih jauh, pertama; seni musik, kedua; seni olah fisik atau olah raga, ketiga; seni olah tata busana, dan keempat; seni olah kepribadian. Dari keempat variabel ini jika dikembangkan sebagai suatu bahan ajar atau kajian ilmiah yang tertuang dalam satu paket pembelajaran mengenai marching band akan sangat memperkaya khasanah pengetahuan siswa. Tentu, pembelajaran dimaksud tetap dalam konteks mengelaborasi kegiatan marching band dari sisi teoritis maupun praksisnya. Dimensi teoritis bisa dikonstruksikan mengupas visi sejarah, sosial, budaya maupun filosofisnya, mengkaji musik secara umum maupun bahasa musik dalam konstruk marching band31; seni olah fisik atau olah raga dalam marching band layak juga dikaji dari ilmu pendidikan jasmani; sisi tata busana boleh pula dilihat sebagai pembelajaran sopan santun dari citra berbusana yang baik32; pada kasus olah kepribadian, pembelajaran bisa diapresiasi dari sudut tata nilai budi pekerti33.

Penutup

Di luar ini semua, secara teknis, peningkatan keilmuan marching band juga jangan sampai terbengkelai pelatihannya. Kolaborasi yang elegan dengan para pelatih handal kiranya layak untuk direkomendasikan, mereka diminta untuk menyusun pelatihannya secara terstruktur sedemikian rupa hingga secara fungsional-pedagogis layak untuk diangkat dalam sebuah silabus baku.

Akhir tujuan dari upaya ini semua adalah, menjadikan siswa layak berprestasi baik secara rasional maupun emosional dalam artian, sikap mental dan watak siswa menjadi lebih berbudaya, bertanggung jawab dan lebih dewasa dalam menghadapi setiap permasalahan. Keempat variabel tersebut di atas disajikan secara padu dan utuh dalam konteks dan bahasa pendidikan atau pembelajaran marching band. Menjadikan siswa lebih mudah mencerna, jika pelajaran dengan kandungan dan muatan tertentu 34 disampaikan secara nyaman, menghibur dan atraktif, dalam konteks pendidikan atau pembelajaran marching band. (By/aDJ)

————————————————–

1 Pemikiran ini terdapat dalam tulisan Mochtar Buchori, Pendidikan Islam di Indonesia: Problema Masa Kini dan Perspektif Masa Depan, dalam Prisma No. 5 Tahun XVIII, 1989, h. 77. Perbaikan inter-generasional telah terjadi apabila pada umumnya anak-anak mampu hidup dengan cara-cara yang lebih baik dari pada orang tua mereka. Sedang perbaikan intra-generasional dapat dibilang sukses manakala sang adik telah mampu hidup secara lebih baik dari pada sang kakak mereka. Menurut Mochtar kembali, bangsa Indonesia tak dapat menggantungkan diri kepada perbaikan-perbaikan inter-generasional saja. Namun, perhatian pada perbaikan intra-generasional juga mesti segera dilakukan.
2 A. Anderson, Modernisasi Pendidikan: Modernisasi dan Dinamika Pembangunan, Jogjakarta, Gadjah Mada University Press, 1977.
3 Demi pendalaman referensi mengenai fenomena di atas, dipersilahkan mengunjungi beberapa portal yang cukup concern terhadap edukasi marching band di Indonesia, bisa disebutkan di antaranya www.trendmarching.or.id dan www.indomarching.net
4 Statemen ini pernah dikemukakan oleh Kirnadi (pelatih senior Marching Band) dalam tulisannya, “Kegiatan Marching Band”, www.bengkelmusik.com, hipotesa sederhana yang diajukan adalah, mereka yang hanya terbiasa menggunakan otak kirinya dan kurang menggunakan otak kanannya, biasanya kariernya akan mandeg. Orang seperti ini hanya mampu merinci secara lengkap dan menghitung secara teliti, namun dalam membuat keputusan-keputusan selalu kurang tepat dan tidak memiliki keberanian menempuh resiko, demikian preposisi Kirnadi.
5 Erman, S. Ar., Model-model Pembelajaran Matematika, Bandung: LPMP Jawa Barat, 2004.
6 Keterangan ini penulis dapatkan dari Pengurus Harian PDBI (Persatuan Drum Band Indonesia) Jogjakarta, pada hari Jum’at tanggal 03 April 2009 pada acara rapat koordinasi pengurus setempat.
7 Pada perspektif yang agak berbeda, Ary Ginanjar dalam tulisannya, “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, ESQ”, Jakarta: Penerbit Arga, 2001, mengemukakan bahwa ada kecerdasan ketiga yaitu kecerdasan spiritual (SQ, Spiritual Quotient) yang juga akan berkontribusi terhadap sukses individu, sehingga tidak cukup seorang individu hanya dengan IQ dan EQ, melainkan akan lebih sempurna jika ketiganya, yaitu IESQ berjalan seiring-sejalan.
8 Ekstra kurikuler marching band merupakan bagian dari pendidikan jasmani, dan pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan keseluruhan, yang bertujuan untuk mengembangkan individu secara organik, neuromuskuler, intelektual dan emosional. Dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani, pertumbuhan dan perkembangan intelektual, sosial dan emosional anak sebagian besar terjadi melalui aktivitas gerak atau motorik yang dilakukan anak. Pendidikan jasmani menekankan aspek pendidikan yang bersifat menyeluruh antara lain kesehatan, kebugaran jasmani, keterampilan berfikir kritis, stabilitas emosional, keterampilan sosial, penalaran dan tindakan moral, yang merupakan tujuan pendidikan pada umumnya. Atau secara spesifik melalui pembelajaran pendidikan jasmani, siswa melakukan kegiatan berupa permainan (game), dan berolahraga yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Meskipun demikian unsur prestasi dan kompetisi juga terdapat di dalamnya dan dimanfaatkan sebagai alat pendidikan (Drs. Cucu Hidayat, M.Pd., Model Inklusi Dalam Pembelajaran Pendidikan Jasmani, http://educare.e-fkipunla.net).
9 Gumilar Rusliwa Somantri dalam tulisannya di Makara, Sosial Humaniora, Vol. 9, No. 2, Desember 2005, 57-65, Memahami Metode Kualitatif, dengan merujuk pada Webster’s New Encyclopedic Dictionary (New York: Black Dog and Leventhan Publ. Inc., 1994, h. 631) mendefinisikan metodologi secara umum sebagai “a body of methods and rules followed in science and discipline”, sedang metode sendiri adalah “a regular systematic plan for or way doing something”. Kata metode berasal dari istilah Yunani, methodos (meta + bodos) yang artinya cara.
10 Bobbi De Porter, Quantum Learning, New York: Dell Publishing, 1992.
11 http://pusatbahasa.diknas.go.id
12 E. Kusmana Fachrudin, Asas, Strategi-Metode, UPI, Bandung, 2000, h. 44.
13 Irianto, Pengantar Manajemen Edisi Kedua, IBII STIE, Jakarta, 1997, h. 247.
14 Mulia Nasution, Manajemen Modern, Pionir Jaya, Bandung, 2000, h. 11.
15 Suryabrata, S., Materi Dasar Pendidikan Program Bimbingan dan Konseling di Perguruan Tinggi, Buku II C, Psikologi Belajar, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, 1984-1985.
16 Masrun dan S.M. Martaniah, Psychology Pendidikan, Jogjakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psychology UGM, 1973.
17 Bruce. J. Cohen, Theory and Problems of Introduction to Sociology, Mc. Graw Hill, Inc., New York, 1979.
18 D. Krech and RS. Crutchfield, Theory and Problems of Social Psychology, Mc. Graw Hill Book Company, Inc., New York
19 Bruce. J. Cohen, Theory and Problems of Introduction to Sociology, Mc. Graw Hill, Inc., New York, 1979.
20 Lihat Keputusan PB PDBI No. 17 Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Lomba Drum Band, khususnya pada h. 27-28, Pasal 7: Peralatan/Instrument.
21 Ibid.
22 Purba Harjito dan Sukarti, Peranan Perhatian Orang Tua Mengenai Pendidikan Formal Anak dan Kebiasaan Belajar Siswa Terhadap Prestasi Belajar Pada Siswa Beberapa SMA di Kotamadya Yogyakarta, Berkala Penelitian Pasca Sarjana UGM, Jilid 5, Nomer 4A, November 1992.
23 Goldman (2005), dalam Erman Suherman, “Model Belajar dan Pembelajaran Berorientasi Kompetensi Siswa”, Educare Volume 5 Nomor 1, edisi Agustus 2007, http://educare.e-fkipunla.net, mengemukakan bahwa struktur otak, sebagai instrumen kecerdasan, terbagi dua menjadi kecerdasan intelektual pada otak kiri dan kecerdasan emosional pada otak kanan. Kecerdasan intelektual mengalir-bergerak (flow) antara kebosanan bila terjadi tuntutan pemikiran rendah, dan kecemasan bila terjadi tuntutan banyak. Bila terjadi kebosanan, otak akan mengisinya dengan aktivitas lain, jika positif akan mengembangkan penalaran akan tetapi jika diisi dengan aktivitasa negatif, misal kenakalan atau lamunan, akan berujung kesia-siaan. Sebaliknya jika tuntutan kerja otak tinggi akan terjadi kecemasan-kelelahan. Kondisi ini akan bisa dinetralisir dengan relaksasi melalui penciptaan suasana kondusif, misalnya keramahan, kelembutan, senyum-tertawa, suasana nyaman dan menyenangkan, atau meditasi keheningan dengan prinsip kepasrahan kepada sang Pencipta. Dengan demikian aktivitas otak kiri semestinya dibarengi dengan aktivitas otak kanan. Sel syaraf pada otak kiri berfungsi sebagai alat kecerdasan yang sifatnya logis, sekuensial, linier, rasional, teratur, verbal, realitas, ide, abstrak, dan simbolik. Sedangkan sel syaraf otak kanan berkaitan dengan kecerdasan yang sifatnya acak, intuitif, holistik, emosional, kesadaran diri, spasial, musik, dan kreativitas. Penting untuk diketahui bahwa kecerdasan intelektual berkontribusi untuk sukses individu sebesar 20% sedangkan kecerdasan emosional sebesar 40%, sisanya sebanyak 40% dipengaruhi oleh hal lainnya.
Seperti tersebut di atas, unsur musik disebut oleh Goldman untuk ‘menghidupkan’ sisi otak sebelah kanan, namun dalam konteks ini penulis coba mewacanakan kegiatan marching band sebagai representasi dari pemikiran Goldman tadi, menurut hemat penulis seni musik a la marching band ini mengandung sisi fungsional pedagogis dari pembelajaran rasionalitas maupun emosionalitasnya, http://id.wikipedia.org/wiki/Marching_band.
24 W.F. Brown and W.H. Holtzman, Survey of Study Habits and Attitudes, Form C., New York: The Psychologycal Corporation, 1965.
25 W.B. Kolesnik, Educational Psychology, New York: Mc. Graw Hill Book Company, 1970.
26 D. Keiter, Rahasia Belajar Yang Berhasil, IKIP Kristen Satya Wacana, Salatiga, 1976.
27 Puspa ragam mata lomba beserta peraturannya dapat dilihat dalam Buku Pegangan PDBI (Persatuan Drum Band Indonesia) SK. Nomor: 17 Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Lomba Drum Band dan Peraturan dan Petunjuk Pelaksanaan Lomba.
28 Goldman (2005), dalam Erman Suherman, “Model Belajar dan Pembelajaran Berorientasi Kompetensi Siswa”, Educare Volume 5 Nomor 1, edisi Agustus 2007, http://educare.e-fkipunla.net
29 T. Kellaghan, Relationships Between Home Environment and Scholastic Behavior an A Disadvantaged Population, Journal of Educational Psychology, 1977, 69, No. 6, 754 – 760.
30 L.D. Crow and A. Crow, General Psychology, Revised Edition, Totowa, New Jersey, Littlefield, Adams & Co., 1973.
31 Sebagai misal, elaborasi historis dan kultural mengenai divisi musik prajurit Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, mengapa pihak kraton tetap mempertahankan alat marching band sebagai simbol pelengkap performa prajurit kraton, apakah terdapat maksud-maksud tertentu atau simbol-simbol tertentu yang diusahakan ataukah hal itu hanya sebatas ritual tradisi belaka? Agaknya, siswa-siswi sekalian tentu belum mengerti apalagi memahami historisitas di balik kenyataan di atas. Mengapa pihak sekolah, khususnya di wilayah Jogjakarta sendiri atau para stake holder terkait tak begitu peduli terhadap masalah identitas budaya seperti ini?
32 Setiap pergelaran dan pertunjukan marching band, sudah dapat dipastikan bahwa setiap unit marching band memberikan penampilan terbaiknya, baik sisi musikalitasnya, koreografi, blocking gerakan maupun tampilan citra seragam atau pilihan busananya. Salah satu daya tarik dan magnet terkuat performa marching band adalah terletak pada ‘fashion mode’ yang diwujudkan dengan rancangan atau disain seragam personel dan mayoretnya. Semakin ‘modis’, kian mendongkrak penampilan team secara keseluruhan. Pelajaran dari ranah ini adalah, para siswa hendaknya berbusana sopan dan berlaku santun baik ketika di sekolah maupun di luar sekolah, terutama ketika berada di tengah masyarakat.
33 Setiap siswa senantiasa ditegaskan bahwa, kegiatan marching band yang mereka ikuti merupakan sebuah kegiatan yang jauh dari tujuan hura-hura, namun lebih sebagai pusat untuk menempa kebersahajaan, kedisiplinan, kesabaran, keteraturan, ketertiban, kebersamaan serta kepemimpinan berbasis moralitas yang disajikan secara nyaman dan menghibur dalam bahasa sugestif yang mudah dicerna oleh anak seusia mereka. Hingga akhirnya diharapkan, tata dan nilai perilaku keseharian mereka tercermin dalam budaya yang santun, baik santun kepada agama, diri sendiri, keluarga, guru serta masyarakatnya.
34 Dalam konteks tulisan ini, pelajaran dengan muatan tertentu misalnya, pelajaran sejarah dan budaya mengenai marching band, sebagai contoh kasus, sejarah prajurit kraton Yogyakarta yang menggunakan marching band sebagai pengiring defile prajurit di setiap acara-acara budaya di kraton dimaksud. Para siswa diajak untuk aktif berdiskusi membahas topik ini sebagai bagian pengenalan marching band dengan berbasis perspektif sejarah dan budaya luhur bangsa, pada bagian ini sangat kondusif sekali bagi para guru untuk memasukkan muatan-muatan pelajaran lainnya seperti pelajaran budi pekerti berbasis moralitas budaya bangsa. Dengan kegiatan marching band, pembelajaran mengenai identitas budaya bangsa kepada siswa seperti case study yang terjadi pada divisi musik prajurit Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dapat lebih diberdayakan dan dieksplorasi lagi secara maksimal. Paling tidak, siswa secara proaktif diajak untuk melihat sejarah marching band di Indonesia dari perspektif sejarah dan budaya bangsa sendiri, seiring dengan sejarah yang diukir dengan tinta emas oleh perjalanan panjang divisi musik prajurit Kraton Ngayoyakarta Hadiningrat. Pada gilirannya, pembelajaran marching band model seperti ini diharapkan atau diproyeksikan ke depan nantinya, akan dapat menumbuhkembangkankan minat sekaligus rasa bangga di antara para siswa terhadap ekstra kurikuler marching band. Mampu membuka mata para siswa bahwa, marching band bukan sekedar kegiatan hura-hura, tapi ia lebih menyentuh pada kedalaman kesadaran siswa, orang tua, pihak sekolah serta para stake holder terkait bahwa, dibalik ‘glamouritas’ ekstra kurikuler marching band, tersembunyi kekuatan dan pesan sejarah budaya serta moralitas budaya bangsa ini, khususnya tradisi dan budaya Jawa yang direpresentasikan oleh divisi musik marching band tradisional prajurit Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sumber : http://www.ppromarching.com

Short URL: https://trendmarching.or.id/read/?p=1204

Posted by on Jul 21 2009. Filed under News. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

Leave a Reply


Recently Commented