SEMARAK MARCHING BAND
Media Alternatif Melatih Karakter Kepemimpinan Moralitas Pada Siswa
(Suatu Kajian Sosiologis)
Tak bisa dipungkiri, tak mungkin dihindari dan tak akan terbantahkan, bahwa salah satu unit ekstra kurikuler di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta, di Jawa atau luar Jawa, di masa-masa mendatang kecenderungannya akan melihat kegiatan drum band atau marching band sebagai primadona1 diantara deretan kegiatan siswa lainnya. Selain bernilai populis, ia pun sangat kental muatan psikologisnya, tepatnya adalah mampu membangun komunikasi massa2 yang efektif dalam bahasa yang padu, yakni ikatan emosional baik langsung maupun tidak. Sebagai misal, tatkala para personel marching band melantunkan lagu-lagu bertema hymne-patriotik, maka seluruh penonton akan terhanyut dalam suasana khidmat tertentu. Inilah salah satu kelebihan energi musikalitas marching band disamping kedisiplinan, keteraturan, kekompakan dan keserasian yang dituntut ekstra lebih kepada para personelnya.
Karakter dan tuntutan sikap mental bermusik ala marching band merupakan unsur-unsur vital dalam sebuah prasyarat kepemimpinan3. Seorang mayoret ibarat pemimpin kelompoknya, mesti memberi contoh tentang kedisiplinan, keteraturan, kekompakan dan keserasian pasukannya agar sesuai dengan perintah dan keinginannya. Seorang mayoret pastilah dinilai memiliki kelebihan tersendiri oleh anggota kelompoknya yang dengan mana ia dipilih berdasar kriteria tertentu, paling tidak, secara moralitas4 ia mesti memiliki integritas moral yang baik.
Komunitas yang terbangun pun akan memiliki kecenderungan yang sama, nilai-nilai, pola-pola interaksi serta tujuan yang sama pula5. Memiliki keseragaman pandangan dan keinginan sedemikian rupa sehingga terbentuklah komunitas dimaksud. Karena memiliki tautan yang relatif erat dengan pembentukan karakter pribadi manusia, yakni tegaknya kedisiplinan dan ketundukan kepada pemimpin, sedikit banyak norma-norma yang dibentuk oleh satu pasukan marching band berarti telah baku, artinya individu atau kelompok yang jauh dari karakter tersebut tidak akan pernah ditolerir untuk masuk bergabung, apalagi para siswa yang bermasalah secara moral. Nilai-nilai normatif inilah yang akan terus dijaga dan dipertahankan sebagai identitas diri komunitasnya6.
Dikatakan primadona, sederhana saja logika kita, tipikal karakter hingga gema publikasi yang dibawa oleh derap performa jenis musikalitas seperti marching band ini sungguh luar biasa. Secara teknis, susunan orang yang terlibat di dalamnya (baca: pasukan) lumayan banyak. Perhelatan-perhelatan akbar di hari-hari besar nasional, ceremonial di kantor-kantor dan acara-acara penting kerap menggunakan ‘jasa’ performa marching band sebagai pembangkit kebanggaan sekaligus ajang promosi. Kenyataan ini memang memberikan tafsiran yang sama, yakni bahwa marching band memang layak menjadi salah satu ‘lambang’ kehormatan dan prestige suatu institusi.
Irama dan ritme musikalitas yang dihasilkannya pun terasa kompak, khidmat namun tetap kelihatan “wah” atau katakanlah mewah untuk ukuran awam. Dari pengamatan sekaligus fenomena ini, akhirnya, setiap institusi terutama yang berpayung pendidikan, menjadi sangat rasional untuk mengangkat kredibilitas dan prestige institusi pendidikannya melalui media marching band.
Disamping berkarakter secara performa, muatan atau kandungan pesan nilai-nilai moralitasnya secara latensi bisa segera dirasakan oleh setiap siswa bersangkutan yang aktif di dalam anggota marching band ini. Kekuatan, kedisiplinan, kepatuhan, keserasian-keselarasan serta kebersamaan antar sesama anggota pasukan, menjadi syarat mutlak yang tak dapat ditawar-tawar lagi, sebuah harga mati untuk mencapai kehormatan sebuah pasukan marching band.
Entah suatu faktor kebetulan atau apa istilahnya, nilai-nilai moralitas seperti tersebut tadi adalah pondasi dasar bagi pembentukan karakter seorang pemimpin. Utamanya pemimpin menjalankan kepemimpinan bergaya moral, yang memberikan teladan kepada orang yang dipimpinnya secara moral pula. Pembelajaran berharga ini, yang salah satunya sangat mungkin dirasakan dalam sebuah komunitas, yakni komunitas marching band.
Pendidikan budi pekerti yang diajarkan di sekolah-sekolah sangat terbantukan dengan adanya kegiatan marching band ini, paling tidak dari sudut pandang dan dimensi pendidikan kesenian, yakni seni bermusik ala marching band. Sinergisitas kedua matra ajar ini agaknya perlu mendapatkan tempat yang semestinya di masa-masa mendatang. Kerja sama yang baik di antara keduanya perlu ditingkatkan secara kualitas. Pada kegiatan marching band, siswa menemukan pembelajaran secara langsung mengenai sikap, nilai dan norma-norma moralitas kelompok yang menjunjung tinggi kehormatan dan harga diri komunitas. Cikal-bakal normatif inilah yang diharapkan mampu diresapi dan dirasakan oleh para siswa sedemikian rupa hingga membawanya kepada pola-pola serta sikap positif-penuh kedewasaan dalam pergaulannya, baik pada tingkat internal sekolah maupun di tengah masyarakatnya.
Pertanyaannya kemudian adalah, bukankah nilai-nilai kepemimpinan moralitas yang terkandung dalam sebuah komunitas marching band telah sepatutnya untuk direnungkan lebih jauh lagi sebagai media alternatif pembentuk karakter pribadi siswa ,sesuai dengan tingkat kedewasaan masing-masing siswa yang bersangkutan?
Pada akhirnya, marching band adalah salah satu unit kegiatan alternatif siswa, dimana siswa yang bersangkutan bisa berinteraksi secara lugas dan terarah. Terarah dan terukur baik dari sisi perkembangan moralitas, mental dan psikologisnya maupun dari dimensi minat serta pengetahuan dan penghayatannya pada pendidikan seni, khususnya seni bermusik dalam konteks komunitas marching band.(By/aDJ)
By/aDJ (Bayu Adji Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Jogjakarta )
————————————————–
1 Untuk kajian lebih jauh atas fenomena ini, sebagai alternatif rujukan dipersilakan mengunjungi situs trendmarching atau indomarching.
2 Untuk kajian per definitif pengertian “psiko-sosial” yang lebih mendalam dan jelas, bisa dilihat pada buku karya Drs. Bimo Walgito, “Psikologi Sosial”, Suatu Pengantar, Andi Offset, Jogjakarta, 1991, khususnya Bab VI h. 53 – 55 dan Bab VIII h. 65 – 73.
3 Mohamad Sobary dalam bukunya, “Kebudayaan Rakyat”, Yayasan Bentang Budaya, Jogjakarta, Mei 1996, mengilustrasikan betapa strategisnya posisi “ketokohan dan ditokohkan” seseorang atau sekelompok orang oleh warga masyarakat atau pengikutnya, sedemikian strategisnya sehingga pola bicara hingga pola-pola perilaku serta sistem tindakan yang akan dan tengah dilakukan oleh “sang tokoh” ini benar-benar tertata baik secara moralitas.
4 Tak jauh beda dengan Mohamad Sobary, Drs. Paulus Wirutomo, M.Sc. yang menyunting pemikiran Sosiologis David Berry dalam bukunya, “Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi David Berry”, CV Rajawali, Jakarta, September 1982, sepakat bahwa fenomena ketokohan seseorang dalam internal kelompoknya dibentuk oleh persepsi sekaligus seleksi alam, bahwa kedewasaan dan kesadaran moralitaslah yang menjadi tolok ukurnya utamanya, di samping aspek-aspek sosio-kultural lainnya.
5 Lihat dan bandingkan juga, tulisan Ignas Kleden, Prinsip-prinsip Pada Diri Manusia, dalam Prisma, Dari Bumi yang Bergolak, LP3ES, Jakarta, No. Ekstra, Tahun VII, 1978, khususnya h. 86 – 88, mengupas tajam tentang simbolisasi moralitas kolektif yang ditegakkan secara kolektif pula demi menjaga tersampaikannya pesan-pesan moral dalam diri manusia sebagai subyek dan bagian inheren dari komunitas moralitas masyarakatnya.
6 Untuk kajian lebih mendalam mengenai nilai-nilai moralitas yang terdapat dalam sebuah kelompok yang mengikat secara psikologis sedemikian rupa sehingga timbul upaya aktif dalam mempertahankannya oleh anggota kelompok yang bersangkutan, bisa diperiksa kembali pada karya Drs. Bimo Walgito, “Psikologi Sosial”, Suatu Pengantar, Andi Offset, Jogjakarta, 1991.
Related posts:
Short URL: https://trendmarching.or.id/read/?p=1127